Wakaf, Wakaf Quran, Wakaf Produktif, Wakaf Tunai, Wakaf Uang, Wakaf di Indonesia, Wakaf Masjid, Wakaf Quran Ramadhan, Wakaf Produktif di Indonesia, Wakaf Sarana Air Bersih, Wakaf Saham, Wakaf Sawah, Wakaf Sekolah, Wakaf Sekolah Tahfiz, Wakaf Uang Tunai, Wakaf Tanah, Wakaf Pendidikan, Wakaf, Online, Wakaf Online Indonesia, Wakaf Secara Online, Wakaf Tahfiz Online, Bayar Wakaf Online, Cara Wakaf Online, Wakaf Tunai Online, Desa Quran, Wakaf Alquran Braille
Kapan pastinya Alquran Braille muncul pertama kali di negeri
ini tak begitu jelas. Setidaknya, ada dua versi yang menjelaskan sejarah
Alquran Braille di Indonesia. Menurut Staf Seksi Program Balai Penerbitan
Braille Indonesia (BPBI), Yayat Rukhiyat, Alquran braille pertama kali muncul
di Indonesia sekitar tahun 1954. Alquran yang ada saat itu, merupakan
inventaris Departemen Sosial (Depsos) sumbangan dari Yordania. Namun, Alquran
braille tersebut baru berhasil dibaca tahun 1964 oleh seorang juru tik braille
Depsos Yogyakarta Supardi Abdi Somad. Setelah itu, Yayasan Tunanetra Islam
(Yaketunis) menuliskannya secara manual, sebelum akhirnya bekerja sama dengan
Departemen Agama (Depag) untuk memproduksinya secara besar-besaran pada tahun
1973.Versi lain mengenai sejarah Alquran braille diungkapkan Kepala Percetakan Yayasan
Penyantun Wyata Guna (YPWG) Ayi ahmad Hidayat. "Alquran braille sudah
dimiliki perpustakaan Wyata Guna sejak lama. Akan tetapi, karena tidak ada yang
mengerti cara membacanya, akhirnya hanya disimpan saja di perpustakaan,"
katanya. Sampai akhirnya ada seorang pengajar di Wyata Guna Abdullah Yatim
Piatu, yang tertarik membolak- balik halaman Alquran tersebut dan ternyata
sanggup membacanya.
Ada banyak cara seseorang mengabdikan diri dalam hidupnya.
Abdullah Yatim (73) memilih jalan yang sangat jarang dilakukan orang lain.
Selama hampir tiga perempat perjalanan hidupnya, ia mengajar mereka yang kurang
beruntung karena mengalami Tunanetra. PADAHAL, mengajar membaca bagi anak-anak
yang matanya normal saja tidak begitu mudah. Apalagi yang diajarkan bukan hanya
membaca huruf Latin dalam bentuk Braille, tetapi juga membaca huruf Arab
braille. Dengan kesabaran dan ketelatenan yang mengagumkan, Abdullah melahirkan
tidak sedikit anak-anak Tunanetra yang kini mahir membaca al-Quran. Huruf-huruf
dalam al-Quran tersebut bukan huruf Arab sebagaimana lazimnya kitab suci
tersebut, tetapi huruf braille Arab. Huruf braille Latin dan huruf braille Arab
bentuknya tidak berbeda. Huruf-huruf braille berbentuk titik-titik yang dibuat
menyerupai lubang dengan permukaan agak menonjol. Huruf-huruf yang menjadi
lambang bunyi itu dibuat di atas kertas manila atau sejenisnya. Para tunanetra
membacanya dengan ketajaman saraf telapak ibu jari tangannya.
ABDULLAH Yatim tidak mengetahui pasti siapa yang menciptakan
huruf braille Arab. Ia sendiri menolak disebut sebagai penciptanya. "Saya
hanya melakukan pembaruan dan menambah lengkap beberapa huruf yang dianggap
kurang," katanya merendah. Namun berkat huruf-huruf Arab yang digunakannya
untuk menulis al-Quran tersebut, ribuan penyandang Tunanetra di seluruh pelosok
Nusantara bisa melek huruf al-Quran. Sebagai satu-satunya al-Quran huruf
braille Arab yang disahkan Departemen Agama, kitab suci tersebut sudah lebih
dari dua puluh kali naik cetak. Belum yang dicetak di luar negeri. Tetapi secara
materi, Abdullah tidak memperoleh imbalan apa-apa atas hasil kreativitasnya.
"Saya anggap sebagai amal saya," kata bungsu dari tujuh bersaudara
keluarga Mohammad Yatim (ayah) dan Supiatun (ibu) ini. Nama kedua orangtuanya itu pernah dijadikan
nama keluarga sehingga menjadi Abdullah Yatim Piatu, walau saat itu kedua
orangtuanya masih hidup. Namun karena dalam ijazahnya hanya mencantumkan nama
ayahnya, ia dianjurkan Departemen Sosial agar tidak menambahnya dengan nama
ibunya. Selama 33 tahun sejak 1957, Abdullah menjadi pegawai negeri sipil yang
ditempatkan di Yayasan Penyantun Wiyata Guna (YPWG) Bandung. Ia pensiun tahun
1990 dengan golongan III A.
Putra Negeri Rencong yang lahir di Blang Pidie, Nanggroe
Aceh Darussalam, 6 Oktober 1931 itu, dalam dirinya menetes darah pengembara.
Ayahnya, Mohammad Yatim, yang berasal dari Sumatera Barat, mengembara ke Aceh
setelah sebelumnya menjadi mukimin di Mekkah selama enam tahun. Mencontoh
ayahnya, bungsu Abdullah meninggalkan kampung halamannya dalam usia remaja. Selain
bekerja serabutan dan kemudian menjadi karyawan di Wiyata Guna, ia pernah
melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Menengah (STM) Pengairan Trimurti
di Jalan Pajagalan, Bandung. "Sekarang sekolahnya sudah lama bubar,"
kenangnya. PERKENALANNYA dengan huruf braille Arab sebenarnya bisa dibilang
terjadi secara kebetulan. "Ketika itu saya iseng-iseng membuka-buka buku
yang terdapat di Perpustakaan Wiyata Guna," katanya. Matanya kemudian
tertarik dengan sebuah buku berjudul Al Misbach yang berasal dari Timur Tengah.
Sampulnya ditulis dengan huruf Latin, tetapi isinya menggunakan huruf braille
Arab. Isi buku tersebut rupanya telah menarik minatnya untuk belajar huruf
braille Arab, walaupun Abdullah bukanlah seorang Tunanetra.
Tanpa kenal lelah dan tanpa bimbingan guru, pada setiap
kesempatan ia gunakan waktunya untuk belajar membaca huruf braille Arab secara
autodidak. Kemudian ia belajar menulis braille Arab. Karyanya yang pertama
Surat al-Baqarah yang dibuatnya tahun 1959 dan kemudian dijilid lalu disimpan
di gudang. "Sekarang saya cari-cari ternyata sudah tidak ada lagi,"
kata ayah lima anak dari perkawinannya dengan Ny Ratini (72 tahun) yang berasal
dari Semarang. Dari pengalamannya mempelajari huruf braille Arab, Abdullah
menemukan beberapa kekurangan huruf dalam al-Quran braille Arab yang berasal
dari Arab Saudi. Hasil temuannya itu ia sampaikan ke Departemen Agama, sehingga
pada tahun 1962 ia diminta menyusun al-Quran braille Arab. Hingga kini, karya
tersebut merupakan satu-satunya al-Quran braille Arab yang beredar luas di
seluruh pelosok Nusantara dan di negeri jiran. KETIKA pertama kali menyusun
al-Quran braille Arab, Abdullah menghabiskan waktunya selama dua setengah tahun
untuk menyelesaikan 30 juz. Tetapi kini, ia sudah tergolong piawai. "Sekarang
sudah lancar, bisa dengan tiga bulan sudah selesai 30 juz," katanya. Satu
juz al-Quran braille Arab paling tidak membutuhkan 30 hingga 35 halaman kertas
manila. Tiap halaman berukuran 32 x 42 sentimeter. Karena ia juga menuliskan
terjemahannya, maka satu juz bisa menghabiskan 70 halaman. Karena itu, al-Quran
braille Arab berbeda dengan al-Quran huruf Arab biasa. Karena ketebalannya,
al-Quran braille Arab dijilid tiap juz. Selain mengerjakan al-Quran braille
Arab, Abdullah juga mengerjakan pengalihan huruf untuk kitab hadis, antara lain
Bulughul Bukhari Maram dan Riyadus Shalihin. Di rumahnya yang sederhana di
bilangan Perumnas Sadangserang, Bandung, ia masih setia mengisi kegiatannya
dengan menyumbangkan keahliannya. Sesekali ia masih harus berdiri di depan
ruang kelas Kejuruan Ilmu Al-Quran Braille (KIAB) yang diselenggarakan Wiyata
Guna Bandung menghadapi anak didiknya yang belajar membaca al-Quran braille
Arab. "Kalau sudah bisa membaca huruf braille Latin, sebenarnya membaca
braille Arab tidak begitu sulit,"katanya. Jumlah peserta KIAB tiap
angkatan tidak begitu banyak. Rata-rata tiap tahun 7 hingga 10 orang.
"Tahun ini hanya sepuluh orang," katanya.
Berkat bimbingannya, Abdullah telah membukakan pintu mata
hati anak didiknya dalam memahami kandungan ayat-ayat suci al-Quran, walaupun
secara lahiriah tidak bisa melihat, di samping ribuan penyandang Tunanetra
lainnya yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. (Her Suganda) Apa pun
versinya, yang pasti para Muslim tunanetra perlu berterima kasih, karena atas
jasa para penerjemah itu mereka kini dapat melek huruf Alquran braille. Kaum
Muslim tunanetra pun tidak perlu mengkhawatirkan, adanya perbedaan versi
Alquran braille. Sebab, Depag telah mengeluarkan mushaf standar yang menjadi
pedoman bagi seluruh percetakan Alquran Braille di Indonesia.
"Penyuntingan Alquran braille dilakukan Depag pusat," ujar Kepala
Seksi Pendidikan Alquran dan MTQ Depag Kota Bandung Anwar Sanusi. Meskipun kini
Kanwil Depag Kota Bandung telah memiliki seorang pentashih, yang menyunting Alquran
sebelum diedarkan untuk dikonsumsi publik, wewenang untuk menyensor isinya
tetap dimiliki Depag pusat. (Sumber Pikiran Rakyat, Kompas, Selasa (17/02/2004
)